Selasa, 05 Februari 2013

Bangku Biru (part 3)


Aku berjalan menuju tempat di mana motorku diparkir. Di samping pintu masjid ikhwan, tinggal ada beberapa motor saja di sana. Aku menengok ke sana ke mari lupa meletakkan helm. “Ini helm-nya mbak”, seorang mengagetkanku seraya membawa helm bergambar bunga kehadapanku. Mataku melayang ke wajahnya, aku perhatikan setiap sisi wajahnya. Alisku mengkerut mencoba berfikir dan mengingat.
“Anak baru ya?”, tanyaku penasaran, “Betul, belum pulang? Sepertinya liqo’akhwat sudah selesai dari tadi”, laki-laki itu menjawab sekaligus bertanya. Hah? liqo,? Acara seperti apa itu? Aku berpikir keras tentang arti kata itu namun kepalaku sudah bertitar.
Alisku kembali mengerut mencoba mencari makna akat yang ia ucapkan. Sepertinya wajahku terlihat bodoh sekali atas ketidaktahuanku, namun aku hanya diam tidak menjawab dan aku segera mengambil helm di tangannya. Dan selangkah demi selangkah aku beranjak pergi tanpa pamitan.  Dari kejauhan aku mengintip laki-laki itu di balik kaca sepion, ia tersenyum pasrah melepas kepergianku, mungkin dengan segudang tanya atas diriku.
*         *          *
Ini lima tahun setelah kududuk berdua dengan Ijah di bangku biru, “Duhai kasih, bidadari yang melumpuhkan hati, syukur ini tidak pernah habis karena engkau mau menjadi nafas di kehidupanku. Dengan indah sutra keimananmu”, Jannah menatapku dalam, dengan senyum mengembang manis, meronakan wajah tampannya.
“ Duhai kasih, imam dalam hidupku, bahkan jauh syukurku atas dirimu yang telah sudi memintal kasih dalam hidup bersamaku. Walau sayap itu telah patah dan egoku sudah menjadi karang, tapi kau mampu menghapus seluruh getir dalam warna dunia laluku”, senyum malu kuukir dalam wajahku.

Tidak ada komentar: