Aku berjalan menuju tempat di mana motorku diparkir.
Di samping pintu masjid ikhwan, tinggal
ada beberapa motor saja di sana. Aku menengok ke sana ke mari lupa meletakkan
helm. “Ini helm-nya mbak”, seorang mengagetkanku seraya membawa helm bergambar
bunga kehadapanku. Mataku melayang ke wajahnya, aku perhatikan setiap sisi
wajahnya. Alisku mengkerut mencoba berfikir dan mengingat.
“Anak baru ya?”, tanyaku penasaran, “Betul, belum
pulang? Sepertinya liqo’akhwat sudah selesai dari tadi”, laki-laki itu menjawab
sekaligus bertanya. Hah? liqo,? Acara
seperti apa itu? Aku berpikir keras tentang arti kata itu namun kepalaku sudah bertitar.
Alisku kembali mengerut mencoba mencari makna akat
yang ia ucapkan. Sepertinya wajahku terlihat bodoh sekali atas ketidaktahuanku,
namun aku hanya diam tidak menjawab dan aku segera mengambil helm di tangannya.
Dan selangkah demi selangkah aku beranjak pergi tanpa pamitan. Dari kejauhan aku mengintip laki-laki itu di
balik kaca sepion, ia tersenyum pasrah melepas kepergianku, mungkin dengan
segudang tanya atas diriku.
* * *
Ini lima tahun setelah kududuk berdua dengan Ijah di
bangku biru, “Duhai kasih, bidadari yang melumpuhkan hati, syukur ini tidak
pernah habis karena engkau mau menjadi nafas di kehidupanku. Dengan indah sutra
keimananmu”, Jannah menatapku dalam, dengan senyum mengembang manis, meronakan
wajah tampannya.
“ Duhai kasih, imam dalam hidupku, bahkan jauh
syukurku atas dirimu yang telah sudi memintal kasih dalam hidup bersamaku.
Walau sayap itu telah patah dan egoku sudah menjadi karang, tapi kau mampu
menghapus seluruh getir dalam warna dunia laluku”, senyum malu kuukir dalam
wajahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar