Selasa, 12 Februari 2013

Hidup



21:21/2012-11-08

Hidup kadang tak seindah mentari pagi
Hidup kadang tak sebening embun pagi
Di setiap hari,
Lelah letih terus temani diri

Biarlah matahari sinari diri
Atau angin pagi tak berhati
Namun semangat diri
Tak boleh terbagi atau terganti

Hidup memang harus berakhir
Dengan sebuah catatan panjang
Baguskah? Biasa atau sengsara?

Sabtu, 09 Februari 2013

Masihkah Engkau?


Tuhan,
Masihkah Engkau hadir dalam diamku?
Menuntun aku lalui waktu-waktu sulitku

Tuhan,
Masihkah Engkau tersenyum dalam lemahku?
Semangati aku kala nyanyian lasu bersenandung

Tuhan,
Jangan Engkau jauhi aku
Karena aku tak mampu hidup tanpa-Mu
Rindu Tuhan dalam jiwa,
11 juli 2012/9:56

Percaya


15:55 30/01/13

Ikhlaskah hati?
Menerima semua beban yang terbuka
Kagetkah jiwa?
Terpesona atas kenyataan yang diterima

Syukuri dahulu mungkin
Agar ikhlas sampai ujung nurani
Lalu penuhi semua lara dengan suka
Agar asa terus membara

Percayalah,
Hidup tak sesulit apa yang diduga
Tapi seringnya hidup itu tak bisa disangka
Percayalah.

Linglung


11 juli 2012/10:01

Aku masih membisu nara
Tercengang atas nasib yang aku sanggupi

Harus berubah sebenarnya
Tapi aku bingung

Linglung atas apa yang harus aku lakukan

Karena saat ini
Aku hanya mampu melihat
Dalam tatap-tatap ternganga

Selasa, 05 Februari 2013

first love


23:08 07/01/13

Saat jatuh cinta segalanya menjadi indah,
Mulai dari yang sederhana sampai yang begitu rumit untuk berkata,
Tak habis cerita saat berbicara tentang cinta,
Memesona banyak hati hingga cinta mampu membutakan jiwa,

Puisi cinta memang banyak menggoda berjuta manusia. Tak hanya puisi yang mampu meluluhkan hati manusia biasa, bahkan gombalan murahan pun mampu membuat hati-hati manusia menjadi lupa untuk menutup pintunya. Meskipun hanya lewat tulisan di atas kertas dan kata yang terucap lewat bibir, cinta mampu membuat hati yang beku menjadi hidup. Apalagi langsung hati yang berkata tentang cinta, sudah, luruhlah segalanya.

Malam ini aku baru saja melihat film dari negri tetangga,Thailand, untukk kesekian kalinya, film itu berjudul “first love”. Mungkin kebanyakan orang sudah menonton film tersebut. Indah ya? Bahkan hati kita mampu dibolak-balikkan saat melihat film itu. Tak sedikit pasti yang berderai air mata saat menontonnya. Harus diakui memang film itu begitu paham dan jelas menggambarkan kondisi hati pada zaman manusia saat ini. Romantis, mungkin lewat kata itu kita bisa menggungkapkan rahasia film itu.

Jika melihat ceritaku tentang cinta. Cinta membuat aku paham akan sabar dan ikhlas, lewat sabar aku menanti cinta sejati untuk hadir menemani diri, hingga waktu menepati janjinya nanti. Cinta memang memiliki banyak cerita, rasa, warna, dan dunia. Lihat dirimu, apa kau punya cerita cinta? Bahagia atau sengsara?. Tengok pada ‘first love’ kita? Pasti setiap orang memiliki cerita first love-nya sendiri, ada yang berakhir tragis, sedih, digantung sana-sini, bahagia sentosa, atau harus menunggu sabar yang amat sangat lama dahulu baru bisa bertemu lega untuk sama-sama mencinta seperti tergambar dalam film tersebut?

Jangan takut untuk mencinta, tapi pesanku ‘saat kau tanam biji cinta, tanamlah pula biji ketegaran disampingnya, dan pilih biji itu yang lebih bagus dari biji cinta, rawatlah bersamaan hingga menjadi pohon yang besar, sehingga kau tetap punya pohon yang besar saat pohon cintamu tumbang, agar hatimu tetap utuh dan tidak longsor’.

Betul banyak syair yang tertulis, bahwa saat kita membicarakan tentang cinta, cinta takkan bisa berhenti hanya lewat sedikit terbata membaca kata dalam dada. Tapi akan terus haus untuk tahu dan paham akan makna cinta yang bahagia.

Apa kabar cinta? Apakah saat ini hatimu bahagia?

Bangku Biru (part 3)


Aku berjalan menuju tempat di mana motorku diparkir. Di samping pintu masjid ikhwan, tinggal ada beberapa motor saja di sana. Aku menengok ke sana ke mari lupa meletakkan helm. “Ini helm-nya mbak”, seorang mengagetkanku seraya membawa helm bergambar bunga kehadapanku. Mataku melayang ke wajahnya, aku perhatikan setiap sisi wajahnya. Alisku mengkerut mencoba berfikir dan mengingat.
“Anak baru ya?”, tanyaku penasaran, “Betul, belum pulang? Sepertinya liqo’akhwat sudah selesai dari tadi”, laki-laki itu menjawab sekaligus bertanya. Hah? liqo,? Acara seperti apa itu? Aku berpikir keras tentang arti kata itu namun kepalaku sudah bertitar.
Alisku kembali mengerut mencoba mencari makna akat yang ia ucapkan. Sepertinya wajahku terlihat bodoh sekali atas ketidaktahuanku, namun aku hanya diam tidak menjawab dan aku segera mengambil helm di tangannya. Dan selangkah demi selangkah aku beranjak pergi tanpa pamitan.  Dari kejauhan aku mengintip laki-laki itu di balik kaca sepion, ia tersenyum pasrah melepas kepergianku, mungkin dengan segudang tanya atas diriku.
*         *          *
Ini lima tahun setelah kududuk berdua dengan Ijah di bangku biru, “Duhai kasih, bidadari yang melumpuhkan hati, syukur ini tidak pernah habis karena engkau mau menjadi nafas di kehidupanku. Dengan indah sutra keimananmu”, Jannah menatapku dalam, dengan senyum mengembang manis, meronakan wajah tampannya.
“ Duhai kasih, imam dalam hidupku, bahkan jauh syukurku atas dirimu yang telah sudi memintal kasih dalam hidup bersamaku. Walau sayap itu telah patah dan egoku sudah menjadi karang, tapi kau mampu menghapus seluruh getir dalam warna dunia laluku”, senyum malu kuukir dalam wajahku.