BANGKU
BIRU
Fajar mulai menyingsing, beranjak naik ke pertapaan
dengan pasti. Sinarnya hangat menembus tebalnya selimut kabut yang menutupi
jalanan kota. Pepohonan di pinggir jalan gemerisik mendayu-dayu dipermainkan
angin pagi, menyemburkan embun kesejukan.
Tidak jua gemuruh musik kendaraan yang lalu lalang,
menyanyikan sebuah lagu keburu-buruan. Pagi ini semua orang sibuk, tidak
terlepas aku yang membuka impian kalbu baru. Sedikit demi sedikit kutelusuri
jalanan kota yang masih rimbun dengan pohon–pohon di setiap sudut celah kota. Kukendarai sepeda
motor sejatiku santai menikmati jalanan ramai.
Lurus saja, tidak usah belok-belok. Selalu begini
jalur masa depanku. Setiap lewat perempatan, pasti ada polantas yang membantu
dan mengarahkan jalur kebenaran saat aku lalai. Tangannya mendayu-dayu kebawah-keatas,
menandakan agar aku sebagai pengendara untuk pelan-pelan mengarungi jalan yang bisu.
Dan juga berhati-hati dengan pengendara lainnya.
Fikiranku menyelaras teringat waktu yang tinggal sebentar
lagi. Tidak banyak, sepuluh menit lagi. Tidaaaaak!!!. Tanganku langsung menggas
sepeda motor dan kusalip seluruh benda di hadapanku, kutrabas saja. Tatapanku
menembus mobil di depanku mengarah tajam ke pintu gerbang kehidupan. Huh,
syukurlah gerbang itu masih terbuka.
Kuletakkan motorku di parkiran, nyaris berhadapan
dengan pintu masjid sekolah. Dari pintu masjid ikhwan, kulewati saja, tetap lurus, hingga pintu samping masjid akhwat pun aku hiraukan. Aku melangkah
menuju pintu wilayah kiri sekolah yang memang pintu itu diperuntukan untuk para
siswa.
Lorong kelas mipa aku tapaki, sengaja, karena pagi
ini kelasku di third physic room. Kelas
pertama yang aku lewati adalah second
chemistry room kemudian setelah melawati kelas berikutnya, “Laras!!”. Aku
terperanjak. Suara itu meninggi memanggilku. Huh keras sekali, siapa sih? Kucari
dari mana asal suara itu, aku berputar memetia ke sekeliling dan tiba-tiba seseorang
melambaikan tangannya.
Kupertajam penglihatanku, gendut. Yah pasti itu
Ijah, ratu makan seantero galaksi bima sakti. Kesana nggak ya??? Ih males ah.
Eh…lho lho lho…yah…kenapa tiba-tiba Ijah lari menghampiriku, padahal-kan aku
malas bertemu dengannya. Brroookkk…tangan Ijah menyapa bahu kananku.
“Kamu sakit apa Ras? Aku khawatir”, suara Ijah
lirih. “Tak pa kok, sekarangkan aku dah baikan”, senyum kubuat semanis mungkin.
Kenapa tidak menjenguk aku kalau kamu tahu aku sakit, gerutuanku dalam hati
walau senyum masih melambai dalam wajahku.
* * *
Matahari terus bergerak, merapat dan sedikit demi
sedikit menikmati perantauannya. Seluruh penghuni sekolah pun berhamburan
seketika bel berdering tiga kali, mereka bebas layaknya narapidana yang diberi
dispensasi keluar dari penjara SMA. Melepas baju ketegangan dan me-refresh kepenatan otak, tidak luput
juga aku.
Kali ini aku dan Ijah duduk berdua di bangku biru.
Di bawah pohon yang rindang bangku itu di tempatkan, tidak ubah dan selalu
sama. Bangku biru di sudut kolam renang sekolah. Kami saling diam, tidak ada
yang memulai pembicaraan. Yang terdengar hanyalah gemerisik dedauanan
meramaikan suasana, dipermainkan dan diombang–ambingkan desau angin siang.
Tatapanku terbang jauh menukik ke depan dan hinggap
di sebrang kolam renang. Aku memandang ada dua remaja sedang beradu kasih serta
rindu. Terbesit, melayang aku pada memori masa lalu saat dia mencemariku,
membenamkan piluh mawar harum yang kumiliki.
Ketika itu lembayung telah pergi. Aku sengaja
membuat janji dengannya di bangku biru untuk memberi tahu tentang kondisi kerajaanku.
“Aku tak bisa Laras, tak bisa! Kemana aku harus melabuhkan impianku jika kau
seperti ini, maaf aku tak bisa”, culas lelaki biadab itu, lelaki lalim yang aku
anggap pangeran hati.
Dia pergi. Dan orang itu kini hilang dikejauhan.
Seketika aku menggigil setelah ia bersuara, air mataku berderai-derai menahan
buncahan duka. Tubuhku lemas dan terjatuh di pangkuan bangku biru. Sedang
tanganku menggenggam alat test pack,
erat tanpa celah diantaranya. Dasar lelaki biadab tidak tahu aturan dan
tanggung jawab.
Aku benci, aku marah. Air mataku menganak sungai
menangis tersedu–sedu. Hatiku miris tercabik–cabik luka perih. Aku tersungkur
pilu di bangku biru hingga berselimutkan malam dengan saksi bintang yang tidak
sempurna. Dan bulan kelabu dengan sinar sayup–sayup seolah berkata, aku ikut
berduka.
* * *
Sudah tiga hari aku pergi dari rumah, menimbang dan
berfikir tentang segalanya. Di tempat ini, di salah satu kamar hotel aku
berdiam. Kurebahkan badan ke spring bed menatap
langit-langit ruang ini. Tidak ada satupun orang yang ingin tahu tentang
keberadaanku saat ini, padahal handphone ku-aktifkan selalu. Terlalu tidak
berhargakah diriku ini? Hingga tak ada satupun orang yang khawatir tentang
keadaanku.
Mama Papa, aku tahu kalian begitu sibuk hingga menengok
anaknya saat tidur atau sarapan pagi bersama saja tidak sempat kalian lakukan. Apa
salahku? Kalian hanya menganggapku ini seperti anak kecil yang sedang menangis,
hanya tinggal diberi permen maka sudahlah, ia akan diam. Anak kecil tidaklah
sesimpel itu! Dan tahukah kalian? Permen pun dapat merusak gigi anak, hingga
anak kecil itu akan menangis lagi karena kesakitan.
Kalian selalu menyuapiku dengan uang dan uang,
kalian tidak pernah bertanya pulang kapan nak? Sudah makankah? Bahkan kalian
tak pernah mengajariku sholat. Hampa, tidak ada yang memberi tahuku mana yang
salah atau benar.
Yah memang, di sekolah aku diajari tentang ilmu
agama. Diajari apa itu Islam, apa
kitabnya, siapa tuhanku, rasulku, bahkan aku diberi tahu untuk apa aku hidup,
tapi itu tidak cukup! Teori semata yang kudapat, prakteknya saja hanya
kuperuntukkan untuk mendapatkan nilai. Tapi jiwaku masih tetap kosong dan makna
sebenarnya tidak ada yang membekas di jiwa.
Aku menerawang menatap botol kecil itu, aku rengkuh
dan kubuka tutupnya perlahan agar tidak tumpah. Sudah tidak ada lagi yang
peduli denganku dan untuk apa aku peduli dengan sekeliling, percuma. Aku tahu
di akhirat nanti aku akan disiksa tanpa ampun atas sikapku. Aku sadar bahwa apa
yang telah aku lakukan ini salah.
Tapi aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, aku
merasakan kepuasan saat aku hanyut dalam keburukan ini. Inikah buah bujuk rayu syaitan? Tapi aku menikmatinya, ini
membuatku tenang sejenak melupakan kepedihan di jiwa. Aku ragu untuk mencicipi
isi botol itu. Namun, tidak lama air itu telah mengalir melewati
kerongkonganku.
Kerongkonganku kering merindukan tetesan air kasih
sayang yang menyegarkan dan menenangkan kekeringan yang terus merajai seluruh
leherku. Aku tercekik dan nyeri yang amat sangat mereajam-rejam tubuhku. Air
mataku menganak sungai menahan sakit perih yang aku jalani dengan kesadaran
yang hampir punah aku terdiam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar