Rabu, 19 September 2012

Sering...namun...

sering khayal tak pernah ingin berhenti berkelana
sering tubuh selalu ingin menemainya
namun lelah tak lepas menghantui gerak-gerik mimpi

sering semangat menggebu dalam asa sanubari
sering motivasi diri tak cukup hanya satu alasan
namun bosan tak pernah absen untuk ikut terkesan

mampu musnah,
karena diri dan niat kuat.

Selasa, 18 September 2012

Aku Dewasa Karena Cinta


17 mei 2011


Aku pendar
Menyingsing hati yang belum lengkap
Deraiku melambai
Bergeming menatap kerling manjamu

Aku pecah, merayap berserakan
Tak ubah kaca itu berteriak
Aku marah, kekecewaan apa ini?
Kau buatku mengibas kekanak-kanakanku

Aku kalut, memandangmu
Menyibakkan kekuranganmu
Menjadi kesempurnaan yang menawan
Bukan dirimu, tapi hatimu

Kadang aku tak tahu apa itu sebongkah rindu
Atau bersua menatap syahdu
Mungkin aku saat ini sedang belajar
Atau menahan silau menceramuk

Tabir buat kita memberi
Merasakan makna tawa tercipta
Bercanda membekas kerap
Atau duka merana

sehingga aku dewasa karena cinta

Senin, 17 September 2012

Aku dan Tuhan


4 juli 2012/10:59 PM
 
Aku tak tahu Tuhan,
apa rencana besar-Mu terhadapku

Aku tak tahu Tuhan,
hati yang bagaimana harus aku persiapkan

Aku tak tahu Tuhan,
bernafas dengan apa aku tanpa-Mu

Tapi aku percaya Tuhan,
Engkau selalu ada untukku.

Sabtu, 15 September 2012

Bangku Biru (Part 1)


BANGKU BIRU
Fajar mulai menyingsing, beranjak naik ke pertapaan dengan pasti. Sinarnya hangat menembus tebalnya selimut kabut yang menutupi jalanan kota. Pepohonan di pinggir jalan gemerisik mendayu-dayu dipermainkan angin pagi, menyemburkan embun kesejukan.
Tidak jua gemuruh musik kendaraan yang lalu lalang, menyanyikan sebuah lagu keburu-buruan. Pagi ini semua orang sibuk, tidak terlepas aku yang membuka impian kalbu baru. Sedikit demi sedikit kutelusuri jalanan kota yang masih rimbun dengan pohon–pohon di  setiap sudut celah kota. Kukendarai sepeda motor sejatiku santai menikmati jalanan ramai.
Lurus saja, tidak usah belok-belok. Selalu begini jalur masa depanku. Setiap lewat perempatan, pasti ada polantas yang membantu dan mengarahkan jalur kebenaran saat aku lalai. Tangannya mendayu-dayu kebawah-keatas, menandakan agar aku sebagai pengendara untuk pelan-pelan mengarungi jalan yang bisu. Dan juga berhati-hati dengan pengendara lainnya.
Fikiranku menyelaras teringat waktu yang tinggal sebentar lagi. Tidak banyak, sepuluh menit lagi. Tidaaaaak!!!. Tanganku langsung menggas sepeda motor dan kusalip seluruh benda di hadapanku, kutrabas saja. Tatapanku menembus mobil di depanku mengarah tajam ke pintu gerbang kehidupan. Huh, syukurlah gerbang itu masih terbuka.
Kuletakkan motorku di parkiran, nyaris berhadapan dengan pintu masjid sekolah. Dari pintu masjid ikhwan, kulewati saja, tetap lurus, hingga pintu samping masjid akhwat pun aku hiraukan. Aku melangkah menuju pintu wilayah kiri sekolah yang memang pintu itu diperuntukan untuk para siswa.
Lorong kelas mipa aku tapaki, sengaja, karena pagi ini kelasku di third physic room. Kelas pertama yang aku lewati adalah second chemistry room kemudian setelah melawati kelas berikutnya, “Laras!!”. Aku terperanjak. Suara itu meninggi memanggilku. Huh keras sekali, siapa sih? Kucari dari mana asal suara itu, aku berputar memetia ke sekeliling dan tiba-tiba seseorang melambaikan tangannya.
Kupertajam penglihatanku, gendut. Yah pasti itu Ijah, ratu makan seantero galaksi bima sakti. Kesana nggak ya??? Ih males ah. Eh…lho lho lho…yah…kenapa tiba-tiba Ijah lari menghampiriku, padahal-kan aku malas bertemu dengannya. Brroookkk…tangan Ijah menyapa bahu kananku.
“Kamu sakit apa Ras? Aku khawatir”, suara Ijah lirih. “Tak pa kok, sekarangkan aku dah baikan”, senyum kubuat semanis mungkin. Kenapa tidak menjenguk aku kalau kamu tahu aku sakit, gerutuanku dalam hati walau senyum masih melambai dalam wajahku.
*          *          *
Matahari terus bergerak, merapat dan sedikit demi sedikit menikmati perantauannya. Seluruh penghuni sekolah pun berhamburan seketika bel berdering tiga kali, mereka bebas layaknya narapidana yang diberi dispensasi keluar dari penjara SMA. Melepas baju ketegangan dan me-refresh kepenatan otak, tidak luput juga aku.
Kali ini aku dan Ijah duduk berdua di bangku biru. Di bawah pohon yang rindang bangku itu di tempatkan, tidak ubah dan selalu sama. Bangku biru di sudut kolam renang sekolah. Kami saling diam, tidak ada yang memulai pembicaraan. Yang terdengar hanyalah gemerisik dedauanan meramaikan suasana, dipermainkan dan diombang–ambingkan desau angin siang.
Tatapanku terbang jauh menukik ke depan dan hinggap di sebrang kolam renang. Aku memandang ada dua remaja sedang beradu kasih serta rindu. Terbesit, melayang aku pada memori masa lalu saat dia mencemariku, membenamkan piluh mawar harum yang kumiliki.
Ketika itu lembayung telah pergi. Aku sengaja membuat janji dengannya di bangku biru untuk memberi tahu tentang kondisi kerajaanku. “Aku tak bisa Laras, tak bisa! Kemana aku harus melabuhkan impianku jika kau seperti ini, maaf aku tak bisa”, culas lelaki biadab itu, lelaki lalim yang aku anggap pangeran hati.
Dia pergi. Dan orang itu kini hilang dikejauhan. Seketika aku menggigil setelah ia bersuara, air mataku berderai-derai menahan buncahan duka. Tubuhku lemas dan terjatuh di pangkuan bangku biru. Sedang tanganku menggenggam alat test pack, erat tanpa celah diantaranya. Dasar lelaki biadab tidak tahu aturan dan tanggung jawab.
Aku benci, aku marah. Air mataku menganak sungai menangis tersedu–sedu. Hatiku miris tercabik–cabik luka perih. Aku tersungkur pilu di bangku biru hingga berselimutkan malam dengan saksi bintang yang tidak sempurna. Dan bulan kelabu dengan sinar sayup–sayup seolah berkata, aku ikut berduka.
*          *          *
Sudah tiga hari aku pergi dari rumah, menimbang dan berfikir tentang segalanya. Di tempat ini, di salah satu kamar hotel aku berdiam. Kurebahkan badan ke spring bed menatap langit-langit ruang ini. Tidak ada satupun orang yang ingin tahu tentang keberadaanku saat ini, padahal handphone ku-aktifkan selalu. Terlalu tidak berhargakah diriku ini? Hingga tak ada satupun orang yang khawatir tentang keadaanku.
Mama Papa, aku tahu kalian begitu sibuk hingga menengok anaknya saat tidur atau sarapan pagi bersama saja tidak sempat kalian lakukan. Apa salahku? Kalian hanya menganggapku ini seperti anak kecil yang sedang menangis, hanya tinggal diberi permen maka sudahlah, ia akan diam. Anak kecil tidaklah sesimpel itu! Dan tahukah kalian? Permen pun dapat merusak gigi anak, hingga anak kecil itu akan menangis lagi karena kesakitan.
Kalian selalu menyuapiku dengan uang dan uang, kalian tidak pernah bertanya pulang kapan nak? Sudah makankah? Bahkan kalian tak pernah mengajariku sholat. Hampa, tidak ada yang memberi tahuku mana yang salah atau benar.
Yah memang, di sekolah aku diajari tentang ilmu agama. Diajari apa itu Islam, apa kitabnya, siapa tuhanku, rasulku, bahkan aku diberi tahu untuk apa aku hidup, tapi itu tidak cukup! Teori semata yang kudapat, prakteknya saja hanya kuperuntukkan untuk mendapatkan nilai. Tapi jiwaku masih tetap kosong dan makna sebenarnya tidak ada yang membekas di jiwa.
Aku menerawang menatap botol kecil itu, aku rengkuh dan kubuka tutupnya perlahan agar tidak tumpah. Sudah tidak ada lagi yang peduli denganku dan untuk apa aku peduli dengan sekeliling, percuma. Aku tahu di akhirat nanti aku akan disiksa tanpa ampun atas sikapku. Aku sadar bahwa apa yang telah aku lakukan ini salah.
Tapi aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, aku merasakan kepuasan saat aku hanyut dalam keburukan ini. Inikah buah bujuk rayu syaitan? Tapi aku menikmatinya, ini membuatku tenang sejenak melupakan kepedihan di jiwa. Aku ragu untuk mencicipi isi botol itu. Namun, tidak lama air itu telah mengalir melewati kerongkonganku.
Kerongkonganku kering merindukan tetesan air kasih sayang yang menyegarkan dan menenangkan kekeringan yang terus merajai seluruh leherku. Aku tercekik dan nyeri yang amat sangat mereajam-rejam tubuhku. Air mataku menganak sungai menahan sakit perih yang aku jalani dengan kesadaran yang hampir punah aku terdiam.

Sejarah Kebisuan


Sejarah Kebisuan
Rindu syahid seorang pejuang palestina

Aku adalah sebuah kebisuan
Yang dilahirkan dari malam - malam kelam
Aku akan tunjukkan kepada dunia
Kebisuan ini akan berakhir ketenangan

Ingin sekali kujamah permadani taman syurga
Saat perjalanan nanar iringi langkahku
Bau anyir yang selalu selimutiku
Ketegangan tiada tara selalu temani perjalananku

Namun, iringan musik itu tak henti usikku
Tak hentinya dentuman – dentuman misil
Roket – roket yang bertaburan ke segala tempat
Dan tembakan – tembakan para koloni zionis

Malam akan terus bergerak
Mendekat, hingga sedikit demi sedikit
Menyemburkan embun kepiluan tiada rasa

Aku percaya,
Dan aku berharap,
Kau lebih percaya dari pada aku
Bahwa suatu saat nanti

Hamparan tanah suci ini
Langit luas yang terbentang tanpa batas
Serta awan yang menggumpal dibalik tirai perjalanan
Akan melukiskan keindahan hari itu

Mereka akan menjadi saksi manusia – manusia
Yang telah mencapai asanya
Saksi saat ku dengar kembali
Gemercit burung merpati

Dan hari itu akan kusampaikan pada mu
Pada seluruh umat di dunia ini
Mereka semua akan menjadi saksi
Arti sejarah akan bangkitnya damai di hati.