“Maaf bu, janin yang ada dalam kandungan anak ibu
tidak bisa diselamatkan dan saat ini kondisi pasien sedang kritis”, dokter memberi
tahu dengan parau. Mama Laras kaget, termasuk Papa-nya. “Janin dokter? Anak
saya hamil?”, dokter hanya mengangguk lalu pamitan pergi.
“Ras, kenapa kamu lakukan ini pada mama?”, Mama
Laras menanyakan dengan nada getir. Laras hanya diam mematung di atas tempat
tidur, dia masih koma. Mama Laras bercucuran air mata, menangisi kelakuan
anaknya, menangisi kondisi anaknya, menangisi kebiadaban lelaki itu dan
menyesali perbuatannya kepada Laras selama ini.
Terlambat…Yah, memang terlambat dan memang penyesalan
itu datangnya diakhir kisah, lucu bukan jika kita menyesal dahulu baru
melakukan kesalahan itu. Papa Laras hanya diam di depan ruang ICU. Meratapi
nasib anak semata wayangnya. Dia beranjak dari tempat duduk itu, memandang ke
pintu ruang ICU. Dengan ragu ia menuju ruangan itu yang berpulaskan pilu.
Dia buka perlahan pintu kaca itu, dia petia istrinya
yang menangis tersedu di samping ranjang anaknya. Dia melihat anak gadisnya,
terkapar, tidak bergerak dengan mata yang masih terpejam. “Pa, Mama kasihan Pa,
melihat Laras seperti ini. Mama nggak
tega”, suara risau dari Mama Laras.
“Papa janji Ras, kalau kamu sadar, Papa akan berubah
dan peduli denganmu. Papa akan lebih sayang dan perhatian lagi sama kamu. Kamu
sadar ya sayang, Papa nggak sanggup melihat
kamu seperti ini”, Papa Laras menangisi anaknya yang malang seraya tangannya
mengelus kepala Laras.
Laras masih saja diam, tidak menandakan bahwa ia
akan sadar. Kedua orang tuanya masih di samping Laras, mendampingi Laras dengan
penuh kasih sayang. Kasih sayang yang dari lama ditunggu–tunggu Laras. Andai
dia tahu, betapa sayangnya kedua orang tua Laras kepada Laras, pastilah Laras
tidak akan bertindak sebodoh itu. Yah, lagi–lagi penyesalan yang terjadi.
Aku membuka mataku, aku di mana? Kepalaku pusing.
Mama, Papa, kenapa mereka di sini. Masihkah mereka peduli padaku? Yah peduli
saat kusudah terkapar begini. Aku memeluk Papa dan Mama, bahagia sekali.
Hangat, dan aku tenang di antara mereka. Beginikah rasanya anak–anak yang disayang
kedua orang tuanya? Aku damai, semua kegelisahan pada diriku telah sirna
menjadi debu dan terbawa angin bisu.
Kali ini aku teringat bagaimana senyum dan tawa
diciptakan dan teringat bagaimana bahagia dirasakan. Wajahku merona bahagia
melihat mereka selalu di sisiku, menanyakan kondisiku saat ini, menanyakan
makanan apa yang ingin aku makan. Rinduku kini terhapus oleh air mata bahagia.
Kekecewaanku sudah hanyut terbawa arus kepedulian mereka.
Aku sembuh dengan cepat dan dengan cepat pula aku
untuk pulang ke rumah. Hari pertama Mama dan Papa di rumah menjagaku mulai dari
aku terbangun menatap fajar, hingga bulan yang menyapa saat malam. Seluruh
kebencianku sirna terganti dengan lembutnya kasih sayang sejati. Hingga Mama
dan Papa kembali bekerja, aku fikir, yah kondisiku sudah mulai membaik dan
sudah mampu untuk ditinggal. Aku fikir mama akan mengecup keningku saat ia
pulang kerja. Tapi ternyata. Tidak. Dan semua berubah menjadi hutan ilalang
kekelaman. Lagi!
Kecewaku tertumpah sudah di bangku biru yang aku
duduki bersama Ijah. Dan aku masih saja sesengukan di bahu Ijah, “Ras, sudahlah
kamu jangan menangis tersedu seperti ini, aku bingung melihatmu. O iya aku
punya temen baru, namanya Tora. Malam ini ia datang ke rumahku, kita akan
mengadakan pesta. Kamu ikut yah?”, ajak Ijah ceria. Aku bangkit dari bahu
empuknya dan kutatap mata Ijah. Dengan ragu aku mengangkat bahu sedikit,
pertanda aku tidak tahu. Ia meraih tanganku dan memberikanku sesuatu.
Pandanganku beralih menatap hadiah dari Ijah. Terbungkus
dengan plastik kecil dan rapi. Apa ini? Alisku mengerut, mencoba berfikir keras
apa ini? Terlintas di benakku sekejap, aku pernah melihat benda ini sebelumnya
saat pelajaran biologi. Yah, aku yakin sepertinya ini . . . sabu. Seketika aku
terperanjak dan langsung kutatap mata Ijah dalam-dalam, “Apa maksud kamu,
Jah?”, suaraku meninggi. “Aku hanya ingin kamu bebas dari masalah-masalah itu
Ras”, terbata-bata Ijah merangkai kata.
Aku marah atas kelakuan Ijah yang tidak
menghargaiku, fikiranku carut marut dan aku pergi dengan wajah penuh darah. “Aku
harap kau fikirkan itu Ras”, teriakan Ijah yang seolah berlari mengejarku.