Rabu, 21 November 2012

Marah


7/24/2011 8:59 pm

Tersungkur aku dalam alunan kemarahan nada
Bertanya dalam sebuah kata-kata
Tidak pernah sampai dalam suara
Terpendam, berhenti dalam ujung lidah dan bibir

Berlari ke sana kemari dalam lapangnya pikiran
Membuncah segala rasa tak mampu menahan
Meluap tak kuasa tegar menyangga
Hanya mata seolah berteriak memaki

Air mata berderai tidak mampu terus bersemayam
Hanya mampu menangis tersedu
Tidak mampu lagi menyusun kata
Kata dalam suara

Dan aku marah dalam diam

Minggu, 18 November 2012

Bangku Biru Part 2


“Maaf bu, janin yang ada dalam kandungan anak ibu tidak bisa diselamatkan dan saat ini kondisi pasien sedang kritis”, dokter memberi tahu dengan parau. Mama Laras kaget, termasuk Papa-nya. “Janin dokter? Anak saya hamil?”, dokter hanya mengangguk lalu pamitan pergi.
“Ras, kenapa kamu lakukan ini pada mama?”, Mama Laras menanyakan dengan nada getir. Laras hanya diam mematung di atas tempat tidur, dia masih koma. Mama Laras bercucuran air mata, menangisi kelakuan anaknya, menangisi kondisi anaknya, menangisi kebiadaban lelaki itu dan menyesali perbuatannya kepada Laras selama ini.
Terlambat…Yah, memang terlambat dan memang penyesalan itu datangnya diakhir kisah, lucu bukan jika kita menyesal dahulu baru melakukan kesalahan itu. Papa Laras hanya diam di depan ruang ICU. Meratapi nasib anak semata wayangnya. Dia beranjak dari tempat duduk itu, memandang ke pintu ruang ICU. Dengan ragu ia menuju ruangan itu yang berpulaskan pilu.
Dia buka perlahan pintu kaca itu, dia petia istrinya yang menangis tersedu di samping ranjang anaknya. Dia melihat anak gadisnya, terkapar, tidak bergerak dengan mata yang masih terpejam. “Pa, Mama kasihan Pa, melihat Laras seperti ini. Mama nggak tega”, suara risau dari Mama Laras.
“Papa janji Ras, kalau kamu sadar, Papa akan berubah dan peduli denganmu. Papa akan lebih sayang dan perhatian lagi sama kamu. Kamu sadar ya sayang, Papa nggak sanggup melihat kamu seperti ini”, Papa Laras menangisi anaknya yang malang seraya tangannya mengelus kepala Laras.
Laras masih saja diam, tidak menandakan bahwa ia akan sadar. Kedua orang tuanya masih di samping Laras, mendampingi Laras dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang yang dari lama ditunggu–tunggu Laras. Andai dia tahu, betapa sayangnya kedua orang tua Laras kepada Laras, pastilah Laras tidak akan bertindak sebodoh itu. Yah, lagi–lagi penyesalan yang terjadi.
Aku membuka mataku, aku di mana? Kepalaku pusing. Mama, Papa, kenapa mereka di sini. Masihkah mereka peduli padaku? Yah peduli saat kusudah terkapar begini. Aku memeluk Papa dan Mama, bahagia sekali. Hangat, dan aku tenang di antara mereka. Beginikah rasanya anak–anak yang disayang kedua orang tuanya? Aku damai, semua kegelisahan pada diriku telah sirna menjadi debu dan terbawa angin bisu.
Kali ini aku teringat bagaimana senyum dan tawa diciptakan dan teringat bagaimana bahagia dirasakan. Wajahku merona bahagia melihat mereka selalu di sisiku, menanyakan kondisiku saat ini, menanyakan makanan apa yang ingin aku makan. Rinduku kini terhapus oleh air mata bahagia. Kekecewaanku sudah hanyut terbawa arus kepedulian mereka.
Aku sembuh dengan cepat dan dengan cepat pula aku untuk pulang ke rumah. Hari pertama Mama dan Papa di rumah menjagaku mulai dari aku terbangun menatap fajar, hingga bulan yang menyapa saat malam. Seluruh kebencianku sirna terganti dengan lembutnya kasih sayang sejati. Hingga Mama dan Papa kembali bekerja, aku fikir, yah kondisiku sudah mulai membaik dan sudah mampu untuk ditinggal. Aku fikir mama akan mengecup keningku saat ia pulang kerja. Tapi ternyata. Tidak. Dan semua berubah menjadi hutan ilalang kekelaman. Lagi!
Kecewaku tertumpah sudah di bangku biru yang aku duduki bersama Ijah. Dan aku masih saja sesengukan di bahu Ijah, “Ras, sudahlah kamu jangan menangis tersedu seperti ini, aku bingung melihatmu. O iya aku punya temen baru, namanya Tora. Malam ini ia datang ke rumahku, kita akan mengadakan pesta. Kamu ikut yah?”, ajak Ijah ceria. Aku bangkit dari bahu empuknya dan kutatap mata Ijah. Dengan ragu aku mengangkat bahu sedikit, pertanda aku tidak tahu. Ia meraih tanganku dan memberikanku sesuatu.
Pandanganku beralih menatap hadiah dari Ijah. Terbungkus dengan plastik kecil dan rapi. Apa ini? Alisku mengerut, mencoba berfikir keras apa ini? Terlintas di benakku sekejap, aku pernah melihat benda ini sebelumnya saat pelajaran biologi. Yah, aku yakin sepertinya ini . . . sabu. Seketika aku terperanjak dan langsung kutatap mata Ijah dalam-dalam, “Apa maksud kamu, Jah?”, suaraku meninggi. “Aku hanya ingin kamu bebas dari masalah-masalah itu Ras”, terbata-bata Ijah merangkai kata.
Aku marah atas kelakuan Ijah yang tidak menghargaiku, fikiranku carut marut dan aku pergi dengan wajah penuh darah. “Aku harap kau fikirkan itu Ras”, teriakan Ijah yang seolah berlari mengejarku.